Protected by Copyscape Originality Check
23/03/11 0

Anticlimaxxx

By Aulia A. Dhianti in , , , , , ,

Hey,guys!Long time no post! :D
Anyway,tadi gue lagi iseng-iseng nih,buka-buka file-file lama di kompi dan ternyata yang gue temukan adalaaah...JENGJENGJENG!Novel,cerpen atau cerita-cerita yang niatnya mau gue post ke blog jaman dulu bgt!Gila,kira 3-2 tahun ada kali ya.Udah gitu,gue juga baru nyadar kalo gue dulu errr....suka bgt bikin novel/cerita yang pada akhirnya sih........Gak selesai-selesai -_-_-_-

Well,ya udahlah.Gimana ya?Honestly,gue suka bikin cerita.Lucu aja.Seperti ada kesenangan tersendiri ketika gue bisa menuangkan imajinasi yang ada di kepala gue ke dalam bentuk tulisan.Tapi yaaa mungkin karena emang gue dasarnya emang pemalas,jadinya dari dulu sampe sekarang,cerita-cerita yang gue karang itu selalu stuck dan gak pernah selesai karena gue males nge-lanjutinnya lagi. Padahal ya,kalo bisa dibilang,gak terlalu susah buat gue untuk menemukan ide-ide atau tema cerita yg mau diangkat.Hmmm,mungkin gue emang lebih cocok buat kerja dalam format duo/kelompok ya.

Daaan,sekarang gue cuma mau kasih contoh-contoh cerpen atau cerita-cerita yang udah gue buat tapi belum selesai.Hoho,these are so 2007-2009! :D

Cerita pertama berjudul Eddie. Gak tau kenapa,dulu gue suka bgt sama nama 'Eddie' ini.Well,namanya juga anak smp -_-

Cekidot,gan :

                “Kau sudah bangun rupanya, Eddie,”
Badan itu mulai menggeliat malas di tempat tidur. Eddie, pemilik tubuh gendut itu sudah bangun dari tidurnya yang pulas. Matanya mengerjap-erjap sambil terus menguap.
            “Johnny? Kau sudah pulang ternyata. Dan—hey! Maafkan aku, sup asparagusnya kuhabiskan sendirian. Aku lapar sekali tadi malam dan sup itu pun nikmat sekali untuk cuaca dingin seperti semalam.”ujar Eddie sambil beranjak dari tempat tidur.
            “Tak masalah. Aku juga sudah malas untuk mengisi perut pagi ini. Tubuhku sudah amat letih dan sekarang aku ingin tidur sepanjang hari, Eddie. Semuanya kuserahkan padamu.” Jawab Johnny sambil merebahkan diri ke tempat tidur dan segera memejamkan mata sedetik kemudian. Eddie tersenyum kecil melihat tubuh itu terlihat pulas di tempat tidur. Ia pun segera mendekat dan mencium pipi Johnny yang berminyak, lantas beranjak keluar.
           

*                      *                      *

How’s life treating you, Eddie?
Surat itu datang lagi. Eddie segera merobeknya menjadi serpihan kecil dan membuangnya ke tempat sampah. Eddie tahu siapa dia. Eddie tahu siapa yang mengirimkannya semua surat pendek itu. Pasti nenek tua itu, pikirnya sinis. Kau tahu siapa ‘nenek tua’ yang dimaksudnya itu? Ah ya, pasti kau belum tahu. Biar aku ceritakan hal yang sebenarnya Eddie rahasiakan dari semua orang. Eddie dan Johnny, sepasang sahabat yang cukup ‘intim’ itu, mengontrak di sebuah rumah mungil di seberang jalan itu. Intim? Yah, memang begitulah hubungan mereka. Sebelumnya, Johnny juga pernah menjalin hubungan asmara dengan Tony, tetangga sebelah. Sedangkan Eddie baru saja mendeklarasikan ke teman-temannya di desa asalnya bahwa dirinya adalah seorang gay. Dan, nenek tua itu adalah ibu Eddie. Hubungan mereka tak pernah bisa dikatakan ‘baik’. Menurutku, mungkin karena keputusan Eddie untuk menjadi seorang gay. Padahal, ibu Eddie sendiri adalah seorang pemilik dari sebuah bar lesbi di pinggiran kota yang cukup terkenal. Cukup kompleks memang, tapi yah sudahlah.
            Tukang sampah sudah lewat dari jam 7 tadi. Itu berarti Eddie ketinggalan (lagi) untuk membuang sampah dari minggu kemarin. Pemuda itu memang pemalas. Roti basi sejak sebulan lalu saja masih mendekam di dalam kulkas. Eddie juga paling malas untuk mencukur jenggotnya yang sudah agak lebat dari dua hari yang lalu. Eddie membuka pintu keluar sembari menghirup udara pagi.
            Kota ini makin jelek saja, pikir Eddie sambil melebarkan pandangan ke arah jalanan yang cukup ramai. Matanya terhenti pada segerombol tubuh-tubuh molek penuh gairah yang sedang berlari di ujung jalan itu. Louise, salah satu gadis, sedang asyik jogging bersama teman-teman gosipnya. Ada Maya, Franda dan Suzzie. Mereka semua adalah ratu gossip di komplek perumahan di tempat Eddie tinggal. Romantika cinta Eddie dan Johnny sedang menjadi pembicaraan hangat para gadis itu. Eddie malas mendengar semua celotehan dari keempat gadis usil itu. Eddie pun segera masuk ke dalam rumah sambil membawa koran yang tergeletak di dekat pintu.
            “Jack the Bandit menikah, pencurian di sebuah panti asuhan, rapat Gubernur Kota di gedung bioskop… Kota ini memang makin gila saja,” gumamnya sambil membaca headline koran pagi ini.

NAAAAAAAH,SELESAI DEEEH MUAHAHAHAHANJIR ANTIKLIMAKS BGT.Hahaha,serius deh, gue cuma baru bikin segini.Dan,ya gimana ya,cerita-nya kancut banget kalo gue bilang sih hehe.Namanya juga anak smp :p

Teruuuuuuuus,cerita kedua berjudul.....Gak tau.Gue belum kasih judul apa-apa sih.
Udahlah,cekidot!


            Mangkuk-mangkuk  itu hanya menumpuk di meja makan. Mangkuk-mangkuk yang Temaram dapatkan gratis dari hasil berbelanja di supermarket. Ia baru saja pulang dari sana. Berbelanja kebutuhan bulanan. Temaram—akrab dipanggil Ara— gadis manis bermata sendu itu lantas merebahkan tubuh mungilnya di sofa. Melepas penat. Matanya menelusuri plastik demi plastik berisi belanjaan yang tadi dibelinya. Kemudian, duduk terpekur dengan tatapan kosong. Mangkuk-mangkuk itu pun masih menumpuk di meja makan.
*          *          *
            Malam belum begitu larut. Malam—adik bungsu Ara—masih berasyik-masyuk bermain dengan puzzle yang tadi siang dibelikan Ara. Sore, adik kedua Jingga, juga masih asyik berkutat dengan soal-soal Fisika di hadapannya. Sementara itu, Jingga hanya terdiam di sofa sambil menatap kosong televisi yang tidak dinyalakan. Mereka hanya tinggal bertiga di rumah kecil yang suram itu. Orang-tua mereka tewas terbantai pada kerusuhan di bulan Mei tahun 1998. Saat itu, Ara baru berumur 18 tahun. Baru lulus SMA dan melihat dengan mata kepala sendiri,bagaimana orang-orang yang tak dikenalnya itu membunuh orang-tuanya. Darah berceceran dimana-mana.  Bau amis darah yang menyengat. Sejak saat itu, Ara takut dengan cairan lengket berwarna merah pekat itu. Sudah 11 tahun sejak kejadian itu. Ara masih trauma dengan darah.
            Bude Sum—yang merawat mereka setelah ditinggal mati orang-tuanya—baru saja meninggal dunia seminggu yang lalu. Karangan bunga duka cita masih terpampang di depan rumah Ara. Bunga-bunganya sudah tak lengkap,tulisannya pun sudah koyak. Masih ada banyak saudara yang datang. Mengucapkan bela-sungkawa. Huh,munafik,pikir Ara. Mengapa baru datang sekarang? Menunggu Bude mati dulu baru mau datang kesini? Pura-pura tidak tahu keadaan kami yang melarat saja!? Padahal,saat ayah dan ibu masih ada, kalian selalu meminjam uang kepada mereka bukan? Apa? Tidak ada waktu? Bohong! Alasan kalian kuno sekali!Kalian semua memang sama saja. Brengsek! Kalian tahu itu?!Brengsek! Rutuk Ara sejadi-jadinya.
            Ara masih menatap kosong televisi itu. Mulutnya hanya komat-kamit tak jelas—sepertinya masih merutuki saudara-saudaranya itu. Sore hanya menatap kakaknya dengan tatapan iba.
*          *          *
             Hujan turun dengan lebatnya malam itu. Ara—yang baru saja pulang dari kantor, tergopoh-gopoh menuju pagar rumahnya. Ia lupa membawa payung dan lihat sekarang, badannya kuyup seperti orang habis tercebur ke dalam sungai. Giginya gemeletuk kedinginan. Rere yang sedari tadi memperhatikan polah kakaknya dari balik jendela segera mengambil payung dan berlari menerobos hujan, menyusul kakaknya. Lantas, kedua saudara sedarah itu pun masuk ke dalam rumah kecil yang suram itu.
            Ala masih sibuk dengan puzzle-nya—yang walaupun sudah selesai—namun masih menjadi magnet tersendiri bagi Ala. Ara pun segera bergegas ke kamar mandi.

*          *          *
            Wangi aromatherapy menguar di dalam ruangan itu. Ara memutar kran air, mengisi bath-tub dengan sabun dan mulai menanggalkan pakaiannya yang basah satu per satu. Masuklah dia ke dalam bath-tub yang sekarang sudah agak penuh, bercampur dengan cairan lengket yang menimbulkan busa itu. Rileks. Wangi sabun dan aromatherapy makin menenangkan pikiran Ara. Ara mulai memainkan busa-busa, membentuk gelembung-gelembung sabun dan mulai tertawa kecil. Tawa itu semakin panjang—semakin gila. Matanya seketika membelalak, Ara mulai menjambaki rambutnya satu per satu hingga rontok. Sampai pada akhirnya, tawa itu berubah menjadi desahan, teriakan kemarahan dan rintihan. Sesudah itu senyap, diiringi napas Ara yang putus-putus.

*          *          *
            Asap mengudara dari secangkir kopi itu. Rere sengaja membuatnya—walau ia tahu tidak bakalan ada yang meminumnya. Ara sudah melanglang buana ke alam mimpinya sedari tadi. Sementara Ala masih saja sibuk dengan puzzle—yang sebenarnya sudah selesai, namun ia bongkar dan selesaikan lagi—begitu seterusnya. Gadis cilik berumur 7 tahun itu sepertinya memang sudah enggak ada kerjaan lagi. Sedang Rere sibuk menyelesaikan kumpulan soal-soal ujian nasional. Ia sudah kelas 3 SMP dan sebentar lagi harus menghadapi ujian. Makanya, ia terlihat bersemangat sekali, berbeda dengan anak kebanyakan yang selalu mengeluh dan meratapi nasib karena akan segera menghadapi ujian. Rere tipikal anak rajin yang lebih senang mendekam di dalam kamar sambil mengerjakan soal-soal hingga larut malam. Rere tidak pernah merasa kehilangan masa remajanya—yang seharusnya di umur segini, masih senang nongkrong di mall atau paling tidak bercanda bersama teman sebayanya.
            Rere nyaman dengan semua hal itu. Ia memang dijuluki gadis aneh yang misterius di sekolahnya. Rere hanya pasrah saja menerima julukan itu—aneh hanyalah sebuah metafor halus untuk menggambarkan pandangan orang terhadap keluarganya—termasuk dirinya. Ia terlalu cuek untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Musik klasik dari Tchaikovsky masih mengalun dari sebuah gramofon tua di sudut ruang tamu. Suasana damai itu terusik oleh tangisan Ala. Tangan Ala berdarah. Mungkin tertusuk paku yang tertancap di kursi dekat tempat ia bermain. Darah yang dihasilkan cukup banyak. Rere pun segera mengambil kotak P3K.
            “Makanya, kakak bilang jangan main disini. Ngeyel sih,”ujarnya sambil melihat tangan Ala. Rintihan perih Ala masih terus terdengar.
            Darah
Bau darah yang amis menyeruak. Menggelitik birahi Rere. Apa rasanya? Merah. Pekat. Kental. Semakin Rere terjerumus dalam dorongan hatinya yang gila. Lidah Rere pun mulai menyentuh tetesan darah yang ada pada tangan Ala.
            Harum
Mata Rere terasa gelap. Hasratnya mulai menggila. Ada suatu kenikmatan yang menjalar dalam tubuh. Hangat. Otak Rere semakin terkontaminasi akan suatu euforia gila di dalam tubuhnya.
 FIN!Another anticlimax,anyway!Well,actually for meh,ini lame baaanget.Gila,dikasih taring dikit aja,si Rere udah berpotensi jadi vampir-vampir berkerlap-kerlip lampu disko cabul yang demen sama manusia tanpa ekspresi.Okay okay,once agaaain,namanya juga anak smp.But seriously,niat awal bikin cerita ini sih,gak terlintas sedikit pun di pikiran gue buat bikin cerita ttg vampir.Sorry ya.Gue lebih suka sama vampir-vampirnya Anne Rice daripada vampir-vampir banci itu.Nyeh.






Well,kayaknya sih itu aja cerita-cerita yg bisa gue post.Iseng banget deh siang ini :p
So,smell ya later,guys!

Leave a Reply

Aulia Soemantrihardjo 2010.Stealing is a CRIME. Diberdayakan oleh Blogger.