hujan menggelitik taman sore itu;
aroma tubuhmu yang manis seakan mampir di hidungku;
siluet tubuhmu yang tegas pun mengoyak birahiku;
di balik payung;di balik payung itu,sayang;
kau semaikan elegi menjadi peluh;
membuat diriku makin layu;
hujan itu oh;
tak kau hirau lagi bisikkannya;
senyum merahmu yang ranum; terbalut dalam tubuh yang penu gairah;
peluh mengalir deras;
kau tahu malam makin tua,
kau tahu aku makin kisut,
kau tahu aku hanya benalu
kau tahu itu,sayang;
tubuhmu adalah isyarat bagiku
2009
Karang yang Sudah Karam di Kedua Bola Hidup itu
Mesopotamia di lembah kelam
Terperangkap dalam jelaga hitam
Yang bertafsir di reruntuhan puing yang kelam
Suasana berdua yang semakin temaram
Menambah syahwat untuk menabur garam
Anak-anak itu mulai menjerit seram
Kepada dirimu yang makin peram
Hei, anak durjana
Di antara serbuan rajam yang menggarang
Kepungan setan-setan dari neraka jahanam
Cacian dari bunga-bunga bangkai di sudut tamanmu
Tak satu palu pun yang bisa
Memecahkan karang di bola matamu
2010
Jiwa yang Lelah
ibu itu hanya duduk terpekur di sudut ruangan;
jangan bertanya padaku siapa ibu itu;
duduk setiap hari di bangku itu;
bangku reyot penuh coretan yang sudah menjadi sahabatnya;
atau pekerjaannya tiap hari;
yang hanya bisa terduduk dalam sepi;
dengan mulut komat-kamit;
kurasa doanya sudah kedaluwarsa;
hanya doa itu saja yang ia ucap;
doa yang penuh sumpah-serapah;
lemak yang menggumpal di tubuhnya;
kudis yang menyerang;
bibir tebal yang menghitam;
rambut kusut yang mulai memutih;
jangan tanya padaku siapa ibu itu;
namaku pun disebut dalam doanya
2009